Kumpulan Catatan FB hari ini

==========================================================================
"JERITAN HaTI SEORANG MANUSIA"
=====================================================================================
SaatKU mrsA hmpa dn tAk brARti'-, kebutuhantuhkn sBUah hRApan dn CinTa' yG mngiSI hri2 hiDUpku. SaAt Hrapan dn Cinta itu dTg:, aku hnx DiAM 'mmbisu',.Bi2rku trasa kku, tak mAMpu uTk mngUCApkn kTA. SaAT HraPan dn ciNta itu prGi'.., Aku hnx mNAngis tanpa suara.- JriTAN Hti puN trDngr pilU-¤. Nmun tak ada 1 pun yG mnDngrnx.- Mngapa tAk ada 1 pun yG mw mngeRti pRAsaan kU '!? Oh.. TUHN, apkh ni suatu cobaan baGI hidupku'dlm mngarungi Samudra ciNTA iNi !?? Wlau hrus d ombang ambing Glombang ciNTA;
=====================================================================================
"TIADA GUNA"
=====================================================================================
Tiada guna lgi..
M'hrpmu utk q miliki..
Takkn ada lgi..
Ksmptn q utk kmbli..
Sluruh cintaq..
Sgenggam mfmu..
Takkn mgkn bs m'gnikn slh q..
Bgmn lgi,bila itu yg hrs t'jdi..
Dgn bsr hti kan q terima smua ini..
Kau bwt dri q,t'bunuh cintamu..
Apalh dy q ini mmg slh q..
Aknkh t'ulang kmbli..
Ms2 kt yg dlu ada..
Q akui mmg q slh,
tak b'ada di dktmu..
Di saat kau rindu..
===================================================================================
"Papua Harus Belajar Berdemokrasi, Mempersiapkan SDM menuju Era Globalisasi"
===================================================================================
Reformasi sudah berjalan lima tahun, banyak harapan kandas dalam waktu yang terasa singkat ini. Banyak pendapat mengatakan, waktu yang hanya sekian untuk sebuah demokrasi sebenarnya tidak ada arti. Apalagi demokrasi buatan sendiri dimana budaya bermasyarakat memegang peran dan tercermin dengan jelas di masyarakat. Maka perjalanan Reformasi yang didasari oleh sikap demokrasi karbitan akan terasa tiada arti yang bisa memenuhi harapan. Demokrasi bisa dilaksanakan jika hal tersebut, berkembang dari hati nurani diri masing-masing sipelaku niat demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak bisa dipaksa atau mengharuskan orang lain untuk melaksanakannya atau tiba2 di install. Itu harus dari dasar / akar/ niat hati sendiri, dan hal ini sering dilupakan oleh orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang ahli. Dasar dari sikap demokrasi harus sudah diajarkan dan dilaksanakan sejak masih kanak-kanak, mulai dalam kehidupan keluarga yang merupakan lingkup dasar yang menjadi akar seseorang untuk bersikap, mengikuti perkembangan usianya untuk melangkah kelingkup yang lebih besar yaitu masyarakat. Lingkup sekolah merupakan tahap kedua dari seorang anak untuk belajar akan arti demokrasi secara sportif dan positif. Dan tahap ketiga dimana seseorang hidup bermasyarakat menjalani peran kehidupannya, dengan menjadi bawahan (pegawai) atau majikan/ pimpinan dari suatu lingkup kerja (perusahaan), bisa juga pada lingkup sebuah organisasi. Sayangnya, dalam tahapan pertama saja yaitu lingkup keluarga, sering sikap demokrasi ditekan tanpa disadari, dimana sikap otoriter dari orang tua yang merasa lebih berkuasa atas anak-anak, menjadikan dasar demokrasi yang harusnya bisa mulai dilaksanakan, malah menjadi dasar pengertian yang buruk, anak melihat, wujud seorang berkuasa (dewasa diwakili orang tua) bisa lebih berkuasa dan berbuat (memberi peraturan) sekehendaknya tanpa memberi kesempatan pada yang lebih lemah (diwakili anak) untuk memberi pendapat dan punya hak untuk menolak jika tidak cocok dengan diri dan situasi serta kondisi keadaannya. Hal ini berlanjut ketahap kedua, yaitu lingkup sekolah, dimana pihak yang berkuasa diwakili oleh wujud guru, menekankan sikap otoriternya yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh mereka, dan harus dilaksanakan oleh pihak yang lebih lemah yaitu para murid, tanpa kompromi dan hak untuk mendengar pendapat muridnya. Dan berlanjut dengan keadaan lebih parah kala seseorang berada dilingkup ketiga, yaitu sebagai pihak yang lemah misalnya buruh, pegawai, bawahan. Dan sentral kekuasaan dipihak yang kuat/ berkuasaan yaitu pemilik perusahaan, majikan, dan pemimpin kantor / perusahaan. Nah, tiga tahapan tadi membuat manusia Indonesia menjadi kerdil dalam hal berdemokrasi, seseorang terbiasa menurut semua peraturan tanpa membantah, bahkan tanpa tanggung jawab, dan tanpa mengeluarkan pendapat (masukan), serta tanpa sikap berjuang demi kepentingan bersama. Sikap demokrasi yang berkembang saat ini, adalah pelepasan dari sikap terpendam, pendidikan masa lalu, dimana yang terwujud sekarang adalah demokrasi disamakan dengan memberi kritikan, protes terhadap pembuat peraturan dan segala aturan, benci/ marah pada orang yang lebih berkuasa. Sehingga tidak lagi menjadikan demokrasi sebagai ajang mengeluarkan pendapat dengan sikap musyawarah, dan memikirkan jalan keluar bersama, menuju suasana keadaan yang membaik/ melepaskan diri bersama dari masalah yang sedang dihadapi/ dialami. Maka dengan sikap demokrasi yang demikian, kita melihat sejak genderang reformasi ditabuh/ diperdengarkan, yang terlihat hanyalah sikap protes, kritikan pedas, hujatan dan sebagainya. Tanpa memberi jalan (solusi) pada keadan yang diprotes, dikritik dan dihujat. Dan yang sangat disayangkan demokrasi dinyatakan sebagai sikap yang boleh berbuat semaunya!. Masyarakat yang tidak mendapat didikan berdemokrasi dalam arti sesungguhnya membuat Indonesia bertambah menderita disegala sektor. Tidak bisa dipungkiri selama tiga puluh tahun lebih, masyarakat dibawah pemerintahan Soeharto, tidak mendapat kesempatan menjalankan demokrasi yang sesungguhnya, sebab pemerintahan Orba membuat sentral kekuasaan, sama seperti orang tua dirumah tangga, guru di sekolah. Majikan (pemimpin) ditempat bekerja. Di era pemerintahan Soeharto, bentuk-bentuk organisasi dilarang seperti organisasi buruh, organisasi lingkungan, diskusiforum, dan hal lain yang dianggap melanggar/ berbahaya dari pandangan mata penguasa Orba. Bahkan pergerakan wanita, seperti contohnya, ikut dalam pemilihan Ratu Kecantikan duniapun dilarang, padahal ini ajang mengukur kecerdasan dan kepiawaian seorang wanita Indonesia. Hal ini berjalan tanpa perlawanan, tanpa bantahan dan perjuangan!. Dengan cara begitu tidak ada kesadaran politik demokrasi yang bisa berkembang di hati manusia Indonesia. 5 th reformasi dengan jatuhnya moral. Dalam usia 5 tahun, reformasi suatu negara bisa diibaratkan seperti seorang anak yang menginjak usia remaja, dimana masa puber ke 1, saatnya seseorang mencari indentitas diri, bersikap berani mati jika ada yang menentang kemauan atau menegurnya merasa seperti dicemooh, perlu dilawan!. Demikian juga Indonesia sebagai sebuah negara dengan wilayah yang luas dan masyarakat yang besar jumlahnya, ditambah multi ras dan budaya. Maka tak pelak lagi Indonesia sedang mencari identitas sendiri dalam dunia yang kompleks, dimana bidang ekonomi sedang mencari tempat sendiri dan demokratis mencari model sendiri. Dalam pencarian jati dirinya, saat ini masyarakat Indonesia mencoba mengadaptasi banyak model dari barat, yang menjulangkan sikap demokrasi! Hak azasi manusia! Dan sikap moral (arogan) dari negara maju yang kaya. Moral semakin jatuh, karena dengan menjiplak model dari negara barat yang sudah kaya dan punya kekuasaan atas dunia ketiga yang masih berkembang dan miskin, maka para pelaku reformasi didominasi perasaan ketakutan, frustasi, karena dengan tetap memegang sistem dan struktur jaman dulu. (dimana untuk mengikuti, menjawab jaman modern tidak cukup pondasi keuangan, keahlian berpikir dan kekuasaan). Dengan keadaan yang demikian masyarakat semakin bingung maka yel-yel reformasi hanya sebagai kelakuan jalan bersama (bergerombol) dengan spanduk demontrasi (dengan kata-kata protes, hujatan), memacetkan lalu lintas, membuat masyarakat umum was-was merasa tidak nyaman dan terganggu. Dari sisi yang lain inti reformasi, jika kita berpikir lebih mendalam, yang dijalankan selama 5 tahun ini adalah, merupakan menghilangkan gejala-gejala (bekas) peninggalan Orde Baru tanpa akarnya dibasmi, karena kompromi lebih di pentingkan. Dalam lima tahun kita mengenal tiga penggantian pemimpin ( Habibie, Gus Dus, Megawati). Dengan situasi begini, tentu rakyat banyak yang frustrasi. Sehingga Radikalisme dan perlawanan dari reformasi, ketika sampai diakar masalah (kepentok) kepentingan individu, atau kelompok tertentu, yang diurus cuma masalah sekilas, luarnya saja!. Problem seperti ini pemerintahan sekarangpun belum mampu (belum berani) bertindak, sekali lagi kompromi yang di-legalkan! akhirnya pembongkaran korupsi dan masalah orang hilang, kasus Trisakti, kasus Mei, kasus Tanjung Priok dan masih banyak lagi. menjadi tidak memungkinkan untuk dibongkar secara tuntas, dan semakin jauh waktu berjalan, seolah menjadi masalah fiktif saja. Sejarah sudah membuktikan dan mencatat hal tersebut terjadi. Butuh pemimpin yang bijaksana Jika para pemimpin intelektual dan tokoh keagamaan di-Indonesia mengerti dan melihat, bahwa akar dari masalah sekarang adalah demokrasi dan reformasi yang dijalankan dengan sikap dan cara yang salah, karena memang sejak kanak-kanak sudah salah didikan, tentu hal ini sebagai prioritas yang tertinggi di atas kepentingan diri sendiri dengan visi yang sempit, untuk membangun Indonesia baru yang berazaskan kemurnian demokrasi dan reformasi dengan tujuan yang jelas, yaitu kemakmuran lahir batin masyarakat Indonesia. Maka sikap memberi contoh dimulai dari diri sendiri sebagai pejabat, pengusaha, pemuka agama, guru, orang tua untuk memberi kesempatan dengan identitas sendiri (perkumpulan masing-masing) membiasakan berdemokrasi dalam arti yang sesungguhnya yaitu, belajar sikap bermusyawarah, gotong royong, jujur dan berwawasan luas yang bijaksana (membantu memberi pemikiran/ solusi), bukan sikap hujat menghujat, saling menyalahkan, dan menghalalkan segala cara untuk menonjolkan diri, yang ujung-ujungnya ingin menjadi pemimpin juga. (yang dalam hal ini, merupakan wujud dari didikan demokrasi masa kecil) yaitu melihat seseorang yang jadi pemimpin (berkuasa) adalah sebagai tempat yang bisa berbuat lebih terhadap pihak yang dipimpin/ bawahan/ yang lemah/ yang lebih kecil. Memasuki era baru dalam sejarah Indonesia sudah sering muncul pemimpin, pembimbing yang pintar, (adanya yang bernilai plus jujur bijaksana...?). Apakah dalam pemilu ini orang tersebut ada? Sangat diharapkan hal tersebut bukan hanya hayalan, karena negara Indonesia sangat berpotensi memiliki orang yang pintar, berwawasan, berdedikasi, yang perlu ditambahkan adalah jujur dan bijaksana, serta paham betul situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Karena hal tersebut, mutlak harus ada pada diri seorang pemimpin untuk punya rasa atas kepentingan dan bertanggung jawab pada kehidupan rakyat banyak. Rakyat Indonesia sudah jenuh memiliki pemimpin yang hanya berkoar untuk propaganda, dengan janji-janji yang muluk-muluk. Yang diperlukan sekarang adalah perubahan dan tindakan yang jelas, pahami yang sedang dihadapi. Mempersiapkan SDM menuju Era Globalisasi Untuk keluar dari situasi ini, perlu kesadaran dan berjuang untuk menyembuhkan sampai ke akar penyebabnya, bukan hanya mengobati gejala penyakitnya/ luarnya saja. Merubah politik biasanya, butuh banyak pengorbanan!. Bilamana perjuangan untuk membuat perubahan, prosesnya dimulai dari bidang Industri, Pertanian dan Jasa, dimana dalam hal bekerja, seorang pekerja merasa bahagia, nyaman kala bekerja, serta bertanggung jawab dan apalagi sampai punya rasa memiliki (karena bisa memberi masukan, solusi), Maka seorang pegawaipun akan ikut bertanggung jawab atas maju mundurnya perusahaan tempatnya bekerja, bukan seperti sekarang, dimana karyawan yang tidak puas terhadap tempatnya bekerja (bisa pada pemimpinnya atau kondisi untuk dirinya), tega melakukan perusakan bahkan, tidak jarang sampai membakar sendiri perusahaan yang memberinya ladang untuk bekerja/ berpenghasilan. Sebagai contoh, petani Madura, memprotes harga gabah yang semakin turun jauh dibawah harga modal mereka sebagai petani yang mengelola sendiri, beramai-ramai protes dengan membakar berkarung-karung gabah kering hasil keringat sendiri. Diharapkan dengan memberi kesempatan pada setiap orang yang terkait dalam usaha, baik bidang industri, pertanian, dan jasa menjalankan demokrasi dalam arti positif, ikut berbicara (bukan hanya memprotes), tapi bantu memikirkan jalan keluar dan sebagainya. Dengan begitu, diharapkan kemajuan bermasyarakat lebih efektif juga produktivitas naik dan sekaligus mempersiapkan SDM (sumber daya manusia) ke era globalisasi. Sepertinya politik warna apapun, siapapun yang jadi pemimpin, jika selama rakyat/ buruh, masih hidup di bawah minimum atau standar yang tidak bisa memadai, kata-kata demokrasi, reformasi, perbaikan moral dan sebagainya, pasti tidak ada artinya!. Mungkin ini pekerjaan penting untuk para pejabat, pimpinan usaha, pemuka agama, dan semua orang yang berwenang dalam pemerintahan ini, untuk sama-sama memikirkan perubahan dan tindakan yang harus dimulai dari dasar yaitu, rakyat kecil harus dibuat nyaman, aman dan sejahtera. Hanya dengan cara begini perubahan proses dari bawah akan lebih sehat, lebih realistis, terjangkau dan efektif, menuju Indonesia baru yang merdeka, maju dan makmur! Marilah kita sama-sama belajar berdemokrasi, belajar bermusyawarah, mampu menerima dan memberi pendapat (komunikasi dua arah), belajar jujur dalam menyampaikan pendapat atau memberi solusi, bergotong-royong serta belajar berorganisasi untuk melakukan hal-hal tersebut dimuka. Maka mulailah dari tahap kesatu yaitu lingkup keluarga, tahap kedua lingkup sekolah, tahap ketiga lingkup tempat kerja/ organisasi (bermasyarakat). 
==================================================================================

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PAPUA

IMAN YANG KUAT DAPAT MENENANGKAN KERESAHAN HATI